Rabu, 02 April 2014

Perjalanan lintas lima alam menuju Akhirat

 

7 Tingkatan surga dan Neraka [muslim masuk]

Kemanakah jalan yang ingin kita tempuh:
7 tingkatan Neraka

 
1.Neraka jahanam:
Adalah tingkat yang atas sekali. yaitu tempat mukminin,mukminat,muslimin dan muslimat yang melakukan dosa kecil maupun besar
“….Demi Neraka jahanam di datangkan untuk semua orang walaupun hanya lewat / mampir dalam 1 hari”
Firman Allah SWT:
“Bahwasanya orang-orang kafir dan orang aniaya itu tidak akan diampuniAllah, dan tidak pula ditunjuki jalan, melainkan jalan ke Neraka Jahannam. Mereka kekal dalam neraka itu selama-lamanya. Yang demikian itu mudah sekali bagi Allah”(Q.S. An-Nisa: 169)

2.Neraka ladhoh:
Tingkat kedua yaitu tempat orang yang mendustakan agama
Firman Allah SWT :
“Sebab itu Kami beri kabar pertakut kamu dengan Neraka Luza (neraka yang menyala-nyala). Tiada yang masuk kedalamnya selain orang yang celaka. Yaitu orang yang mendustakan agama dan berpaling dari pada-Nya”(Q.S. Al-Lail : 14-16)

3.Neraka Khutamah:
Inilah neraka tingkat ketiga. yaitu tempat orang yang hanya lalai memikirkan dunianya tanpa mengerjakan kebutuhan/kepentingan untuk ibadahnya. Harta yang membuat orang durhaka.
Firman Allah SWT :
“Tahukah engkau apakah Hathamah itu? Yaitu api neraka yang menyala-nyala yang membakar hati manusia. Api yang ditutupkan kepada mereka. Sedangkan mereka itu diikatkan pada tiang yang panjang” (Q.S. Al-Humazah : 4-9)

4.Neraka sair:
Tingkat ke-empat yaitu tempat orang yang tidak mau mengeluarkan zakat atau bagi mereka yang mengeluarkan tapi tidak pada porsinya dan Dalam neraka ini ditempatkan orang yang memakan harta anak yatim. Didalam neraka ini mereka buta, pekak, dan kulitnya tebal seperti Jabal uhud.
Firman Allah SWT :
“Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan aniaya, sesungguhnya mereka memakan api sepenuh perutnya. Dan nanti mereka akan dimasukkan kedalam neraka Sair(Q.S. An-Nisa: 10)

5.Neraka Sahkhor:
Yaitu tempat orang yang tidak melaksanakan salat, tempat orang yang berbohong tentang keberadaan Allah, menyembah selain Allah atau menyembah zat yang keluar dari sifat Allah dan Al quran,.
Didalam kitab safina : “….orang yang tidak melaksanakan solat dihukumi sebagai hewan yang tidak ada harganya/ tidak ada manfaatnya “
Didalam surga mereka saling bertanya dari hal orang berdosa. Apakah sebabnya kamu masuk neraka Saqru? Karena kami tidak sholat, kami tidak memberi makan orang miskin, kami percaya pada yang bukan-bukan. Kami mendustakan hari kiamat.(Q.S. Al-Mudatsir : 40-46)

6.Neraka jahim:
Tingkat ke-enam yaitu ditempatkan orang kafir, orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang Islam yang berdosa. Mereka yang berbuat apa yang dilarang Tuhan. Umpamanya berzina, meminum khamar, dan membunuh tanpa hak.
Firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang kafir dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, mereka itulah penghuni neraka Jahim.(Q.S. Al-Maidah : 86)

7.Neraka Hawiyah:
Inilah neraka yang berada dibawah sekali.neraka yang paling keras, yaitu tempat orang yang ketika matinya tidak membawa iman dan islam, apinya hitam dan sudah dibakar 1000tahun lamanya, Alas atau kerak-kerak neraka. Disinilah tempat orang-orang yang berdoa berat. Mereka yang menjadi musuh nabi-nabi, seperti Firaun.
Firman Allah SWT :
“Dan barang siapa yang ringan timbangannya, maka dia dilemparkan ke neraka hawiyah. Tahukah engkau apakah Neraka Hawiyah itu? Yaitu api yang sangat panas”.(Q.S. Al-Qoriah : 8-11)
sahabat Abu Hurairoh “terdengar suara yang mengelegar lalu bertanyalah ke rosulullah dan rosulullah menjawab itu adalah suara batu yang jatuh dari neraka jahanam ke “teleng” sekitar dada jatuhnya 1000 tahun”.
Bersabda Nabi SAW : Adapun Neraka itu gelap gulita, tidak mempunyai penerangan kecuali api yang menyala-nyala. Neraka itu mempunyai tujuh pintu dan tiap-tiap pintu itu mempunyai tujuh puluh ribu bukit, tiap-tiap bukit mempunyai tujuh puluh ribu cabangnya, tiap-tiap cabang itu terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil. Dan tiap-tiap bagian yang lebih kecil itu terdiri atas tujuh puluh ribu dusunnya. Dan tiap-tiap dusun itu tujuh puluh ribu rumahnya dan api yang menyala-nyala. Tiap-tiap rumah itu tujuh puluh ribu ular dan kalajengking

7 tingkatan Surga
 
1.Darus Salam:
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal sholeh yang selalu mereka kerjakan.” (QS. 6:127)
Surga adalah Darussalam (negri keselamatan) dari segala musibah, kecelakaan, dan segala hal yang tidak disukai, dan dia merupakan negri Allah subhanahu wata’ala, diambil dari nama Allah “as-Salam”. Allah subhanahu wata’ala pun mengucapkan salam atas mereka,
“Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan), “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.” (QS. 36:57-58)

2.Jannatu ‘adn:
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, (Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang sholeh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:23-24)

3.Jannatul Khuld:
Karena penduduknya kekal di dalamnya dan tidak akan berpindah ke alam (tempat) lain.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
”Katakanlah, “Apakah (azab) yang demikian itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang- orang yang bertaqwa?” Surga itu menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka.” (QS. Al-Furqan:15)

4.Darul Muqamah:
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan mereka berkata:”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu”. (QS. 35:34-35)

5.Jannatul Ma’wa:
Adalah tempat menetap sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat an-Najm di atas. Disebut demikian karena surga merupakan tempat menetapnya orang-orang mukmin

6.Jannatun Na’im:

7.Al Muqamul Amin:






Lubang Vulkanik Bawah Laut Ditemukan

Rahasia dan Fenomena Alam terungkap, sebuah lubang vulkanik bawah laut ditemukan. Sekelompok ilmuwan dari National Oceanographic Centre menemukan lubang vulkanik bawah laut terdalam di dunia. Lubang vulkanik tersebut ditemukan saat mereka menjelajahi Cayman Trough, wilayah perairan Karibia, menggunakan robot laut bernama Autosub6000.
Diketahui, air di sekitar lubang vulkanik memiliki temperatur yang panas. Para ilmuwan berpendapat, hal ini bisa menjadi petunjuk dalam membeberkan teka-teki permulaan kehidupan di bumi dan spesies makhluk hidup laut yang belum pernah diketahui sebelumnya.
“Sangat mengejutkan, mengetahui bahwa di dalam dunia dengan enam miliar lebih penduduk, terdapat bagian dari planet kita yang belum pernah terlihat sebelumnya,” tulis salah satu anggota kapal James Cook dalam situs pribadinya.
Menurut para ilmuwan, lubang vulkanik super panas atau yang dikenal dengan sebutan ‘Black Smokers’, kerap menjadi penuntun para ilmuwan dalam menemukan spesies bawah laut baru. Para ilmuwan menggunakan kapal James Cook untuk menurunkan Autosub6000, yaitu robot yang dikendalikan remote control untuk menjelajahi bawah laut dan menemukan lubang vulkanik.
Seperti dilansir CNN, Selasa (13/4/2010), lubang vulkanik akan retak di dalam kerak bumi yang memungkinkan magma, gas, asap, dan materi lainnya menyembur ke permukaan.Temperatur di wilayah ini bisa mencapai 750 derajat Fahrenheit dan memanaskan air laut hingga temperatur paling ekstrim sebelum memuntahkannya kembali ke laut, yang kemudian terbentuk sebuah erupsi asap.
Para ilmuwan berharap mereka bisa melakukan penjelajahan lebih jauh guna mengidentifikasi makhluk laut baru lainnya, karena makhluk yang dapat bertahan di temperatur ekstrim dapat memberikan petunjuk mengenai asal muasal dimulainya kehidupan di bumi.
Dari fenomena alam tersebut ada sebuah hikmah dan pelajaran untuk manusia. Adalah kewajiban bagi manusia untuk dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Dengan demikian, orang tersebut akan mengenal Sang Pencipta yang menciptakan dirinya dan segala sesuatu yang lain, menjadi lebih dekat kepada-Nya, menemukan makna keberadaan dan hidupnya, dan menjadi orang yang beruntung dunia dan akhirat.
Dalam Al Quran, manusia diseru untuk merenungkan berbagai kejadian dan benda alam, yang dengan jelas memberikan kesaksian akan keberadaan dan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya (tafakkur-tadabbur-tasyakkur). Dalam Al Quran, segala sesuatu yang memberikan kesaksian ini disebut “tanda-tanda”, yang berarti “bukti yang teruji kebenarannya, pengetahuan mutlak, dan pernyataan kebenaran.” Jadi, tanda-tanda kebesaran Allah terdiri atas segala sesuatu di alam semesta ini yang memperlihatkan dan menyampaikan keberadaan dan sifat-sifat Allah. Orang-orang yang dapat mengamati dan senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagat raya tersusun hanya dari tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat kauniyah).
Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml: 93).

Rahasia Alam Ghaib dalam Islam

Penglihatan manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok. Contoh kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca inderanya.
Merunut sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin (baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ

“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ

“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:

وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْب

“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat:

فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} الآية

“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah surat Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib (yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ

“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ

“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis yang cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat. Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi) lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-. Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Para pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
Adapun keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya. Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4)
Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Bila demikian, berarti semua perkara ghaib haruslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perkara ghaib (baca: yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghaib tersebut diterangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghaib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 24)
Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indra, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, -pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim, -pen.) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Penutup
Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

SITUS PIRAMIDA GUNUNG PADANG CIANJUR



BANDUNG, JAWA BARAT — Penemuan Situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, cukup mengejutkan berbagai kalangan masyarakat, khususnya para peneliti arkeologi. Pasalnya, berdasarkan penelitian, situs ini diperkirakan berusia sekitar 13.000 tahun.
Itu artinya, peradaban di Situs Gunung Padang lebih tua dari peradaban Mesopotamia dan Pyramid Giza di Mesir, yang selama ini dipercaya sebagai peradaban tertua di dunia. Sehingga temuan Situs Gunung Padang yang hingga saat ini masih dalam proses penelitian tersebut, bisa mengubah peta peradaban dunia.
Penelitian mengenai Situs Gunung Padang dilakukan sejak November 2011. Setelah diteliti selama hampir dua tahun hingga sekarang, diketahui bahwa Situs Gunung Padang bukanlah sebuah situs yang sederhana, melainkan sebuah monumen yang sangat besar. Situs ini diperkirakan luasnya mencapai 10 kali luas Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Koordinator Tim Peneliti Mandiri Terpadu Gunung Padang, Prof. Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan selama ini terlihat bahwa susunan batu pada Situs Gunung Padang sudah cukup maju.

Susunan batu tersebut mirip dengan teknologi Situs Machu Pichu di Peru. Menurut Danny, yang lebih mengejutkan dari penemuan Situs Gunung Padang ini yaitu umur susunan batu yang berbeda-beda dari setiap lapisannya.
Lapisan teratas berumur lebih muda, yaitu 500 tahun Sebelum Masehi, ada pula lapisan yang berumur 7.000 tahun Sebelum Masehi. Bahkan, jika dihitung hingga lapisan terbawah, Situs Gunung Padang diperkirakan usianya sekitar 13 ribu tahun.
“Gunung Padang itu suatu monumen yang besar. Punden berundaknya yang lapisan pertamanya itu tingginya sampai 100 meteran, jadi luasnya 150 hektar, yang jelas 10 kali lebih besar dari bangunan (Candi) Borobudur. Dibilang menunjukkan umurnya lebih dari 13 ribu tahun itu sudah ada sekitar 3 atau 4 carbon dating (pengukuran umur lapisan berdasarkan kandungan unsur karbon di lapisan tersebut—red) yang kita lakukan di peta analisis,” papar Danny Natawidjaja.
Danny mengatakan, dengan usia yang sedemikian tua, maka Situs Gunung Padang dapat dikatakan sebagai situs peradaban tertua di dunia, melebihi Pyramid Giza di
Mesir, peradaban Mesopotamia, dan peradaban bangsa Arya, yang usianya antara 2.500 hingga 4.000 tahun Sebelum Masehi. Sehingga dengan demikian, keberadaan Situs Gunung Padang secara otomatis bisa mengubah peta peradaban dunia.
Danny Natawidjaja menambahkan, “Peradaban dunia yang dikenal manusia itu kan yang majunya baru sekitar 6.000 tahun, Mesopotamia, kemudian yang di Mesir, (Piramida) Giza itu, yang 2.500-2.800 tahun Sebelum Masehi. Itu yang dianggap sebagai peradaban tertua di dunia. Kalau kita bilang Gunung Padang usianya 13.000 tahun, tumbang semua. Itu tentunya akan menjadikan kita (Indonesia) yang menjadi pusat peradaban di masa lalu.”
Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur ini telah dibuka untuk kunjungan wisatawan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, Nunung Sobari mengatakan, Situs Gunung Padang merupakan aset kebudayaan tak ternilai yang dimiliki oleh Indonesia.
“Gunung Padang kan itu situs cagar budaya yang sangat sangat hebat, tapi harus berdasarkan penelitian yang lebih komprehensif. Secara kunjungan (wisatawan di hari libur, red.) bagus, tapi harus ada juga usaha-usaha untuk memelihara kondisi (situs tersebut),” ujar Nunung Sobari.
Hingga saat ini, para peneliti yang tergabung dalam Tim Peneliti Mandiri Terpadu Gunung Padang masih melakukan penelitian dan ekskavasi atau penggalian terhadap Situs Gunung Padang. Pengelolaan Situs Gunung Padang saat ini berada di bawah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala  atau BP3, Unit Pelaksana Teknis dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah.
SITUS GUNUNG PADANG

Jauh sebelum jaman Megaliticum, di daerah Tatar Sunda sudah berpenduduk yang disebut manusia Sunda yang menganut agama Sunda dan menjalankan tatanan yang disusun menjadi tatanan Sunda. Kepercayaan mereka mengenai Tuhan yaitu wujud gaib yang tak dapat digambarkan dan tidak mampu manusia memberi namaNya, karena tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang ada di dunia ini; Ku harti moal katepi,ku akal moal kahontal, ngan karasa ku manusa ‘oleh pikiran tidak akan tercapai, hanya dengan rasa manusia”
Manusia Sunda pada waktu itu hidup dalam ruang yang disebut komunitas ‘ngabubuhan’ yang dikepalai oleh seorang ‘Daleum’. Tatanan kehidupan sosial mereka gotong royong ‘liliuran’ dan ‘paheuyek-heuyeuk leungeun’. Hal yang sangat dijauhi dalam kehidupan mereka adalah ‘mipit teu amit, ngala teu menta, menta teubebeja, ngagedag teu bewara.Dan sangat menghormati tatacara: ngeduk cikur kudu mihatur, nyokel jahe kudu micarek; tigin kana jangji, bela kana lisan buyut saur larangan sabda, ulah kabita ku imah bodas, ulah kagendam ku pingping bodas, ulah heroy ku sangu bodas’.
Betapa tinggi nilai falsafah yang mereka terapkan dalam tatanan kehidupan keseharian mereka. Namun kini apa yang terjadi ?Manusia Sunda lupa akan dirinya, sehingga tatanan yang telah menjadi norma tinggal hanya sebuah nilai yangditeliti di atas kertas.

"SEKILAS Situs Gunung Padang"




Situs Gunung Padang merupakan punden bangunan berundak peninggalan jaman prasejarah. Situs ini merupakan salah satu situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Situs terletak di puncak bukit yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan perbukitan. Di sebelah tenggara terdapat Gunung Melati, di sebelah barat daya terdapat Pasir Empat dan Gunung Karuhun, di sebelah barat laut terdapat Pasir Pogor dan Pasir Gombong, dan di sebelah timur laut terdapat Pasir Malang.
Saksikan situs punden berundak ini yang terbagi menjadi 5 teras mengerucut dan dibangun dengan batuan vulkanik alami yang berbentuk persegi panjang. Teras pertama merupakan teras terbawah dan terluas berdenah segi empat. Pada jalan menuju teras pertama terdapat beberapa batu tegak di kiri kanan jalan. Di depan pintu ini terdapat susunan batu berdenah segi empat dan beberapa menhir serta adanya batu lumpang di sudut timur laut. Di teras kedua tedapat batu-batu tegak berukuran besar. Di teras ketiga terdapat lima kelompok bangunan yang sebagian besar berupa kelompok batu tegak. Sebagian dari batu-batu tersebut telah roboh. Di teras terdapat balok-balok batu pada bagian tengah dan tiga bangunan di bagian timur laut. Bagian barat daya teras ini berupa tanah kosong. Teras kelima merupakan bagian paling atas dari situs ini. Pada bagian ini terdapat susunan batu tegak yang membentuk ruang segi empat. Terdapat juga tinggalan lainnya berupa tumpukan monolit. Anda akan melihat bahwa situs ini unik dari sisi visual.

Lokasi: Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka
Koordinat : 6°59,664'S 107°3,375'E
----------
Situs Megalitik Gunung Padang”. Situs Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Konon, menurut para ahli arkeologi, situs ini merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.

Untuk menuju Situs Gunung Padang, terdapat dua alternatif jalan. Alternatif pertama adalah jalan utama, mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam, hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai.

alan masuk Situs Gunung Padang, di sisi kiri terdapat anak-anak tangga menuju situs

Satu per satu anak tangga kami daki. Anak-anak tangga ini disusun dari batu-batu berbentuk kolom poligonal yang dipasang melintang. Dengan sedikit terengah-engah, akhirnya 15 menit kemudian, kami tiba di Situs Gunung Padang. Woww…!! Pemandangan di depan dan ke belakang betul-betul menakjubkan!

Kami berada di puncak tertinggai dan saya membayangkan saya berada di pertemuan dengan para Raja-raja Pajaran.dan ada keanehan disekitar batu-batu yang berserekan,saya seperti ada yang menuntun dan menemukan batu tapak Kujang dan Batu tapak macan.subhanallah luar biasa.bukan tipuan dan bukan sihir.adanya

Situs Gunung Padang ini terdiri dari lima pelataran (bisa juga menjadi 7 pelataran jika bagian-bagian tertentu di bawahnya dianggap sebagi pelataran). Masing-masing pelataran berada lebih tinggi sekitar 50-cm dari pelataran sebelumnya.

Pelataran pertama adalah pelataran dengan gerbang kecil yang terbentuk oleh kolom-kolom batu yang berdiri berhadapan. Pada pelataran pertama ini terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu.

Pelataran pertama Situs Gunung Padang

Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan berundak-undak yang sangat indah. Sayangnya, letak batu-batuan tersebut saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak hilang begitu saja.

Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang ini kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan.

Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya adalah untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya.

Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan tersebut diketahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang.

Nampaknya, masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari Situs Gunung Padang. Ini tentu saja membutuhkan dukungan para peneliti arkeologi maupun sejarah. Potensi arkeologi, sejarah, maupun geologi Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini merupakan kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, dan bahkan bagi Indonesia.
Saya(wiraatmadja):http://www.facebook.com/BorizYeltsin
&
Bastaman:http://www.facebook.com/BorizYeltsin#!/basirbatarasukma
sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1610869330231&set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=3&theater#!/media/set/?set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=3

Falsafah Diri Situs Gunung Padang

Situs gunung padang;
Jauh sebelum jaman Megaliticum, di daerah Tatar Sunda sudah berpenduduk yang disebut manusia Sunda yang menganut agama Sunda dan menjalankan tatanan yang disusun menjadi tatanan Sunda. Kepercayaan mereka mengenai Tuhan yaitu wujud gaib yang tak dapat digambarkan dan tidak mampu manusia memberi
namaNya, karena tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang ada di dunia ini; Ku harti moal katepi,ku akal moal kahontal, ngan karasa ku manusa ‘oleh pikiran tidak akan tercapai, hanya dengan rasa manusia”
Manusia Sunda pada waktu itu hidup dalam ruang yang disebut komunitas ‘ngabubuhan’ yang dikepalai oleh seorang ‘Daleum’. Tatanan kehidupan sosial mereka gotong royong ‘liliuran’ dan ‘paheuyek-heuyeuk leungeun’. Hal yang sangat dijauhi dalam kehidupan mereka adalah ‘mipit teu amit, ngala teu menta, menta teu
bebeja, ngagedag teu bewara.Dan sangat menghormati tatacara: ngeduk cikur kudu mihatur, nyokel jahe kudu micarek; tigin kana jangji, bela kana lisan buyut saur larangan sabda, ulah kabita ku imah bodas, ulah kagendam ku pingping bodas, ulah heroy ku sangu bodas’.
Betapa tinggi nilai falsafah yang mereka terapkan dalam tatanan kehidupan keseharian mereka. Namun kini apa yang terjadi ?Manusia Sunda lupa akan dirinya, sehingga tatanan yang telah menjadi norma tinggal hanya sebuah nilai yangditeliti di atas kertas. 
Situs gunung padang;
Situs Nagara Padang menyiratkan perjalanan hidup manusia, tidak hanya badaniah tetapi juga rohaniah. Perjalanan lahir dan batin ini mengisyaratkan proses pencapaian manusia yang manusiawi. Falsafah kemanusiaan di tanah Sunda membedakan “jalma” (jelema) dengan “manusa”.
Kata pertama bermakna semenjak lahir seseorang baru “menjelma” menjadi mahluk. Ia belumlah manusia seutuhnya. Dia masih harus menjalani pendidikan yakni pembentukan dan pengembangan diri lahir dan batin. Kata kedua menjelaskan kondisi manusiawi bagi seseorang. Kondisi manusiawi dalam kata “Manusa” dijelaskan dengan hakikat “Kamanusaan”. Hakikat ini berisi tiga keterarahan: “Kami” atau kepada Yang Maha Kuasa pemberi kehidupan, “Kama” kepada orangtua sebagai “sebab” keberadaan (cukang lantaran) dan “Nusa” atau kepada alam sebagai sesama mahluk dalam kehidupan.
Ketiga keterarahan di atas menggambarkan secara kodrati manusia mampu mewujudkan “kasampurnaan”. “Kasampurnaan” dalam konteks ini lebih berarti tugas untuk memelihara dan menata dirinya, sesama manusia, alamnya berdasarkan kekuasaan yang dititipkan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa. Tugas itu diemban pula karena konstelasi kehidupan dalam semesta sudah dan selalumenyempurnakan manusia. Kasampurnaan memang mengandaikan kelebihan manusia dibandingkan mahluk lainnya. Kelebihan itu justru menjadi amanat dan mandat yang sewajarnya diwujudkan karena kodratnya. Amanat dan mandat ini diberi wujud keutamaan, sikap hidup, dan perilaku mulia
.http://sasananuswantara.files.wordpress.com/2011/03/gunung-padang-1.jpg?w=130&h=86
Perjalanan Menemukan Diri
Perjalanan kehidupan seperti ini tertuang dalam peziarahan di Gunung Padang. Perjalanan di Gunung Padang menyiratkan penemuan jatidiri dan mengalami “gumulung” dengan Yang Maha Kuasa dan Semesta. Perjalanan atau “nyucruk galur” tersebut digambarkan dalam wujud (tanggara), nama (ungkara) dan makna (uga) dari tiap-tiap batu di Gunung Padang. Batu menyatakan “Baca” dan “Tulis”. Manusia dianjurkan membaca semesta dan membaca dirinya sendiri. Muara dari “membaca alam dan diri” ialah menuliskannya dalam perilaku hidup sehari-hari. Berkaitan dengan proses penemuan diri tersebut berikut ini penjabaran tanggaraungkara dan uga setiap batu.
  1. 1. Mata Air Cikahuripan
Wujud (tanggara): mata air gunung.
Nama (ungkara): Cikahuripan
Uga (uga): Mata air gunung sering diibaratkan air susu ibu, cai nyusu. Air sebagai sumber dan asal kehidupan manusia (kondisi dalam rahim janin hidup dari dan dalam cairan. Hampir seluruh tradisi di muka bumi ini meyakini manusia berada dalam kondisi yang bersih. Maksudnya, bersih dalam arti steril; dan secara metaforik berarti suci atau dalam istilah keagamaan tanpa dosa.
Karena itu, manusia selayaknya senantiasa membersihkan diri dengan kembali ke air. Air tidak hanya membersihkan tubuh atau wadah. Tetapi juga air membersihkan isi atau pikiran dan rasa. Dalam kondisi bersih itu manusia mengalami kehidupan untuk memulai perjalanan spiritualnya.
Membersihkan diri dengan mata air Cikahuripan atau cai nyusu, bermakna bahwa kehidupan memiliki awal, manusia berasal dari air (sagara). Kesadaran akan awal membawa penyadaran akan tujuan kehidupan. Hidup mempunyai tujuan, dan karena tujuan itu lahirlah alasan untuk menghidupi hidup itu sendiri.
  1. 2. Lawang Saketeng
Tanggara: Gapura dengan 9 anak tangga.
Ungkara: Lawang Saketeng, atau
uga: Gapura ini menyimbolkan penyadaran keberadaan Diri seseorang dan keterkaitannya dengan Semesta dan Yang Kuasa. Keterkaitan ini disadari melalui doa pembukaan di gapura. Rangkaian doa ini menunjukkan bahwa seseorang selalu berkaitan dengan para leluhur (karuhun, orangtua, kasepuhan), Semesta dan Yang Maha Kuasa. Keterkaitan itu disimbolkan dengan 9 anak tangga memasuki situs Nagara Padang. Angka 8 mewakili setiap penjuru mata angin yang, dan 1 ialah inti dari kehidupan yakni Yang Maha Kuasa.
Doa pembukaan bertujuan juga untuk mendoakan orangtua dan para leluhur, dan memohon doa mereka untuk perjalanan dan penemuan hakikat diri (tekad). Seseorang mendoakan orangtua dan leluhur kepada Yang Kuasa agar amal bakti yang mereka lakukan sepanjang hidup menjadi keharuman bagi keturunannya. Keharuman bagi keturunan sekaligus juga mengharumkan nama Yang Kuasa. Orangtua dan leluhur (karuhun) dan semesta akan menjadi perantara yang menghantar seseorang untuk mengungkap jatidiri dan hakikat diri.
  1. 3. Palawangan Ibu
Tanggara: Susunan bebatuan membentuk celah
Ungkara: Batu Palawangan ibu
Uga: Batu ini menjadi simbol untuk rahim ibu. Keberadaan manusia dan perjalanan hidupnya diawali dengan kelahiran. Kelahiran juga mengingatkan seseorang pada awal dan tujuan hidup. Dengan kelahiran lalu setiap orang memiliki tugas yang harus dikerjakan. Ini nanti berkaitan dengan upaya menemukan dan menjalani takdir.
Batu ini pun menandai kelahiran baru bagi seseorang yang memiliki visi dan misi tertentu. Kelahiran baru penting supaya ia menjalani hidup sebagai insan yang mempunyai semangat dan paradigma baru mengenai kehidupan. Ini mempengaruhi bagaimana kemudian kita menyadari bahwa hidup itu sendiri selalu menjadi langkah baru bagi setiap orang.
  1. 4. Batu Paibuan
Tanggara: Batu megalitik besar dan batu bedak
Ungkara: Batu Paibuan, atau Batu pengasuhan Ibu untuk si jabang bayi. Pada situs ini terdapat juga batu bedak, yang menjadi tanda bagi perawatan ibu kepada anaknya.
Uga: Batu ini mengingatkan seseorang pada pengasuhan ibu yang diterimanya pada saat kelahiran, dan pengasuhan ibu yang dialaminya setelah ia “lahir baru”. Pengasuhan ibu berhubungan dengan pendidikan rasa. Rasa penting ditumbuhkan karena kepekaan dan kesadaran akan kehidupan itu sendiri berasal dari kemampuan ini. Ketika rasa berkaitan dengan pikiran, hasilnya ialah pertumbuhan peradaban, manusia yang berbudaya.
Pengasuhan rasa dikaitkan dengan pendidikan pikiran. Pendidikan pikiran merupakan bagian dari Ayah. Pendidikan pikiran berkaitan dengan penanaman ilmu dalam artian kemampuan teknis dan pengetahuan umum mengenai kehidupan. Pendidikan Ayah berikaitan dengan derajat martabat kemanusiaan.
Seseorang belajar mengenal rasa dan pikiran melalui perilaku orangtuanya. Melalui pendidikan Bapak dan Ibu anak mengenal juga prinsip dan keutamaan melalui teladan. Dengan demikian, anak pun mengalami bahwa prinsip dan keutaman hidup merupakan kekuatan kodrati. Artinya keutamaan dan prinsip sudah mendarah daging dalam tubuh dan jiwa manusia. Jika orangtua menampilkan keutamaan dan prinsip dalam perilaku sejak dini, anak mempelajari kemanusiaan baik sebagai wujud penyempurnaan diri setiap orang maupun sebagai medan perjumpaan dengan Yang Kuasa.
  1. 5. Panyipuhan
Tanggara: Lempeng batu pipih mirip besi yang siap ditempa dan dibentuk.
Ungkara: Batu Panyipuhan
Uga: Simbol untuk tempat pendidikan formal: sekolah, madrasah atau pesantren. Seseorang dapat mengalami pengembangan dan pembentukan ilmu, watak, karakter dan perilaku dari pendidikan formal: sekolah, madrasah atau pesantren.
Seseorang mengasah ilmu, mengolah fisik, belajar membentuk watak dan karakter, belajar memperlakukan keutamaan dan prinsip-prinsip hidup dalam pergaulan sehari-hari di sekolah. Seseorang akan belajar mengenal kekuatan kodrati dalam dirinya ketika dia memperlakukan hal-hal yang dipelajari di atas. Kekuatan itu berasal dari Yang Kuasa, dan diberikan agar manusia bertindak sebagai pengemban kekuasaan tersebut dalam menyempurnakan semesta ini.
  1. 6. Poponcoran
Tanggara: Susunan batu yang membentuk lorong yang bisa dilalui tubuh manusia. Batu ini mengarahkan orang ke posisi lebih tinggi
Ungkara: Batu Panyipuhan. Susunan batu ini.
Uga: Batu ini merupakan simbol untuk ujian dan kelulusan. Setiap orang pada saatnya untuk diuji. Jika seseorang sudah menggali ilmu, mengembangkan dan membentuk diri: watak, karakter dan perilaku, ia harus melewati tahap ujian akhir. Jika ia dapat melewati ujian akhir ini, ia lulus dari sekolah, madrasah atau pesantren. Artinya, ia menyelesaikan tahapan penggemblengan fisik dan mental. Pendidikan telah dialami secara lengkap: pendidikan pikiran, rasa dan tubuh.
  1. 7. Kaca Saadeg
Tanggara: Batu ini berbentuk vertikal-datar. Pada batu ini seolah-olah seseorang bercermin..
Ungkara: Batu Kaca Saadeg.
Uga: Batu ini mengisyaratkan saat bercermin diri: mengingat identitas dan tujuan hidup: “siapa saya?”; “apa tujuan hidup ini?” (visi); “apa keinginan saya dalam hidup?” (misi). Proses ini disebut menerawang diri (narawang).
Refleksi diri untuk menentukan tujuan (visi) dan keinginan (misi) dalam hidup. Visi dan misi membantu seseorang menyempurnakan diri, atau mewujudkan kemanusiaan dalam dirinya. Karena itu, Visi dan misi hidup merupakan tugas yang harus dipenuhi sebagai seorang manusia yang manusiawi. Jika sudah menentukan tujuan dan keinginan, tekad harus ditetapkan untuk melangkah selanjutnya.
  1. 8. Gedong Peteng
Tanggara: Batu menyerupai gua yang gelap. Lokasinya sendiri terletak di bagian bawah dan tertutup pohon rimbun. Lokasi ini menyebabkan batu ini tidak banyak terkena sinar matahari, atau gelap. Kegelapan inilah yang kemudian menjadi nama, atau peteng.
Ungkara: Batu Gedong Peteng.
Uga: Batu ini merupakan simbol untuk diri yang masih gelap (peteng) dan ingin mendapatkan penerangan atau petunjuk untuk menapaki hidup berdasarkan karir yang diinginkan.
Setiap orang harus menentukan karir dalam bentuk pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Karir akan membawa orang merealisasi tujuan (visi) dan keinginan (misi) pribadi. Ini penting agar seseorang yang baru saja menyelesaikan tahap pendidikan dapat terus mengembangkan ilmu, watak, karakter dan perilaku. Proses pemanusiaan masih terus terjadi.
  1. 9. Karaton
Tanggara: Karaton atau Istana
Ungkara: Batu Karaton.
Uga: Istana menyimbolkan kedudukan, dan kewibawaan seseorang berdasarkan tugas yang diembannya. Jika seseorang bekerja berdasarkan karir yang dipilihnya, ia akan mengalami promosi atau kenaikan tingkat keahlian. Seseorang juga dapat mendapatkan kedudukan berdasarkan pilihan bersama siapa ia akan menjalani hidupnya, yakni membentuk keluarga.
Kedudukan berdasarkan karir atau kenaikan tingkat keahlian ditentukan berdasarkan baik pewujudan ilmu dan keahlian maupun watak, karakter dan perilaku. Entah ia berkerja mandiri atau bekerja di bawah pimpinan orang lain, entah sebagai pekerja atau sebagai pemimpin pekerjaan sehari-hari akan mengasah ilmu, keahlian dan perilaku. Berdasarkan kedudukan ini setiap orang memiliki tugas masing-masing. Demikian juga berlaku untuk kedudukan dalam keluarga. Entah bapak entah ibu memiliki tugas yang sejajar dalam keluarga.
  1. 10. Kutarungu
Tanggara: Batu ini menjulang tinggi, menyerupai telinga.
Ungkara: Batu Kutarungu. Nama Kutarungu mengacu pada tempat (kuta) dan pendengaran (rungu). Juru kunci menghubungkannya dengan telinga tubuh dan telinga batin.
Uga: Batu ini menyimbolkan sikap hati yang teguh seperti digambarkan oleh Batu yang menjulang tinggi. Sikap hati yang teguh akan mendengarkan suara hatinya, dan tidak mendengarkan suara-suara yang dapat membelokkan jalan yang ditempuh untuk mewujudkan visi dan misi pribadi.
Kearifan Sunda menekankan pentingnya mengenali kemampuan pancaindra bagi kehidupan. Salah satu yang penting ialah telinga. Batu bagi pendengaran ini bermakna kemampuan bertindak sesuai dengan suara hati. Suara hati atau pusat diri menuntun seseorang untuk teguh pada pendirian berdasarkan prinsip. Seseorang yang telah menjalankan karir sesuai dengan tugas dan kedudukannya diandaikan memiliki prinsip yang teguh, atau teguh pada kebenaran yang diyakininya Ia tidak mudah dihanyutkan oleh suara-suara (pendapat, gosip, isu, fitnah, kabar-kabar lainnya) yang dapat membelokkannya dari jalan menuju visi dan misi. Jika seseorang berpegang pada suara hatinya (prinsip dan keutamaan hidup), dia dapat membedakan mana kecenderungan konstruktif (kebaikan), mana yang destruktif (kejahatan).
Seseorang diharapkan mampu mengolah informasi yang didengarnya (diterimanya) sebelum bereaksi. Dengan kata lain, seseorang diajak untuk bertindak bijak, menghindari sikap ceroboh dan sembrono, asal memberikan tanggapan, dan mengikuti kecenderungan jahat dalam dirinya.
  1. 11. Bumi Agung
Tanggara: Batu besar yang menjulang tinggi. Batu ini harus didaki dari satu sisi dan turun pada sisi lain yang berhubungan dengan batu besar berikutnya, Batu Korsi Gading. Dari puncak batu ini bisa terlihat lansekap tatar Bandung di segala penjuru. Agung menandai tanah, bangsa dan juga nagara atau Diri. Agung berkonotasi dengan mulia.
Ungkara: Batu Bumi Agung.
Uga: Batu ini menyimbolkan sikap menjunjung tanah air atau bela bangsa. Kesadaran bahwa pemilik kehidupan bukanlah diri pribadi, tetapi Yang Kuasa berkonsekuensi kesadaran untuk menjunjung tanah air dan membela bangsa (membela bumi). Tanah air dan bangsa meliputi semesta berikut benda dan mahluk yang mengisinya. Artinya, seseorang mempunyai tugas untuk membaktikan keberhasilannya untuk segenap mahluk dan semestanya.
Membela bangsa sama saja artinya dengan membela diri sendiri. Maksudnya memelihara dan menjaga tubuh sebagai “bumi” bagi pikiran dan rasa. Menata tubuh berimplikasi pada penataan pikiran dan rasa juga. Tujuan penataan ini ialah menjadikan tubuh, pikiran dan rasa mediasi untuk memancarkan kekuasaan Yang Maha Kuasa dalam merawat dan menata Semesta.
Membela bangsa dan tubuh disebut amal ibadah manusia kepada Tuhan dan Semesta. Prinsip-prinsip hidup, keutamaan yang telah dihayati bersama dengan tugas–melalui karir atau pekerjaannya — ditujukan untuk menata, memelihara dan mengembangkan setiap jenis kehidupan. Di sinilah prinsip silih asih dan silih asuh hendak diwujudkan di tengah-tengah semesta beserta isinya.
  1. 12. Korsi Gading
Tanggara: Batu ini berbentuk kursi. Gading mengisyaratkan tahta. Seseorang yang menaiki Batu Bumi Agung, sebelum turun harus menyeberang ke Batu ini untuk duduk di sini.
Ungkara: Batu Korsi Gading.
Uga: Batu ini menjadi simbol untuk membaktikan kekuasaan berdasarkan tugas yang diemban untuk merawat dan menata diri sendiri, tanah air dan bangsa, atau Semesta.
Masih berkaitan dengan Bumi Agung, tempat ini bermakna untuk membaktikan kedudukan berdasarkan tugas untuk menjunjung tanah air dan membela bangsa. Dharma seseorang termasuk membaktikan kedudukan bagi nusa dan bangsa. Kedudukan memunculkan kekuasaan atau kemampuan menata dari dalam diri seseorang.
Kekuasaan justru semakin berarti jika diwujudkan untuk menolong dan membantu sesama, atau secara luas memelihara dan mengembangkan kehidupan. Dengan kata lain, semakin berkuasa seseorang semakin ia dituntut oleh kodratnya sendiri untuk mengungkapkan belas kasih (welas asih).
  1. 13. Pakuwon Eyang Prabu Siliwangi
Tanggara: batu berbentuk tugu. Di atas tugu itu terdapat tatahan ibu jari.
Ungkara: Batu Pakuwon Eyang Prabu Siliwangi
Uga: Batu ini menjadi simbol untuk mensyukuri (nuhunkeun) prinsip dan keutamaan silihwangi pada Yang Kuasa. Batu ini masih berhubungan dengan Batu Bumi Agung, dan Batu Korsi Gading. Prinsip silih asih, silih asah dan silih asuh dan prinsip welas asih atau rohman rohim berkaitan dengan keutamaansilihwangi.
Silihwangi berarti saling menghormati, saling menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Setiap orang tanpa pandang bulu memiliki tugas untuk saling hormat dan saling menjunjung martabat dan harkat kemanusiaan. Karena itu, seseorang perlu mensyukuri (nuhunkeun) keutamaan ini kepada Yang Kuasa karena secara kodrati manusia sudah dititipi kemampuan ini dan memangmampu merealisasi keutamaan ini dalam hidup sehari-hari. Mensyukuri berarti mengingat dan memperlakukan keutamaan itu berdasarkan keyakinan yang dipegang.
  1. 14. Lawang Tujuh
Tanggara: Pintu menunjukkan jalan atau jalur. Tujuh mengarah pada jumlah hari dalam satu minggu.
UngkaraBatu Lawang Tujuh atau Pintu Tujuh.
Uga: Batu ini menyimbolkan perjalanan menempuh “jalur” hidup yang sudah ditentukan berdasarkan waktu kelahiran (7 hari). Setiap orang mempunyai “jalan”nya masing-masing untuk mewujudkan visi dan misinya. Jalan itu sudah diberikan berdasarkan hari kelahiran. Tugas manusia untuk menjalani jalur itu berdasarkan pada visi dan misinya. Jalur tersebut akan mengembalikan kita kepada Yang Kuasa, yang menjadi pusat dan  bersemayam dalam diri manusia.
  1. 15. Padaringan (leuit Salawe Jajar)
Tanggara: Jajaran batu megalitik yang melingkar.
UngkaraBatu PadaringanPadaringan berarti juga leuit atau lumbung padi. Lumbung padi itu digambarkan berjumlah 25 dan letaknya sejajar.
Uga: Batu ini menyimbol lumbung padi (leuit atau padaringan) menandai kesejahteraan manusia dan pencapaian kepenuhan hidup sebagai manusia. Kesejahteraan itu hendak dialami nuansa kebersamaan. Nuansa kebersamaan ini digambarkan dengan posisi sejajar. Di sinilah keutamaan Sapajajaran dikenali.
Adalah tugas seseorang yang sudah mencapai keberhasilan dan kedudukan untuk menyejahterakan bumi atau semesta beserta isinya. Menyejahterakan bumi dan seisinya ibarat mengisi lumbung, atau menyediakan sumber kehidupan bagi tanah air dan bangsa. Visi dan misi seseorang tercapai jika ia mampu menjadi pengemban kekuasaan Ilahi untuk membagikan kesejahteraan bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Ia mengikuti peran Ibunya yang menyusui dan mengasuh anak tanpa memandang anak ini kelak berbuat kebaikan atau kejahatan.
Membagikan kesejahteraan bagi bumi dan sesama menandai keadilan. Prinsip keadilan mengejawantahkan keutamaan sapajajaran. Pada dasarnya manusia tidak mengenal pembedaan berdasarkan status lahir. Berdasarkan kodratnya manusia dalam keragamannya sejajar satu sama lain, juga berdasarkan kodratnya, manusia pun sejajar dengan mahluk lain karena sama-sama ciptaan. Demikian juga kesejajaran itu dihayati dalam relasi manusia dengan alam semesta.
  1. 16. Puncak Manik
Tanggara: Tanah datar yang dikelilingi bebatuan besar membentuk cincin.
UngkaraPuncak ManikManik berarti wadah. Dalam wadah itu terjadi persatuan antara Diri dengan Semesta dan Yang Kuasa. Persatuan itu digambarkan pula dengan kembalinya manusia ke asalnya ketika ia mencapai tujuannya.
Uga: Batu ini menjadi simbol untuk pencapaian dan perwujudan visi – misi pribadi serta kembalinya atau bersatunya manusia dengan Semesta dan Yang Kuasa.
Usaha mewujudkan visi dan misi mengenal batas. Batas itu ialah puncak keberhasilan dan kedudukan. Puncak berarti sudah tercapai visi dan misi atau visi dan misi “sudah di tangan”. Imperatif berikutnya ialah segeralah menggunakan kedudukan dan keberhasilan, atau kemampuan untuk beramal ibadah, berbakti dan berbagi (“Tereh make salawasna”) Kemampuan ini yang disebut mewujudkan manusia yang manusiawi, yang bukan hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif.
Puncak manik juga berarti kembalinya seseorang pada jatidirinya yang asali. Jatidiri setiap manusia ialah persatuan dengan asal dan tujuan hidup: Yang Kuasa, “Sang Diri”. Peristiwa ini kemudian diberinama “pulang”. Inilah sebenarnya pencapaian tertinggi usaha dan kekuasaan manusia. Keunggulan dan kewibawaan pada akhirnya akan kembali.
Penutup
Situs Nagara Padang mengandung permainan aksara dan bunyi pada kata “Nagara”. Kata tersebut berupa siloka (teka-teki) yang membuat pembaca berpikir tentang makna. Jika “na ga ra” dibaca seperti tertulis, maka alam pikir bahasa Indonesia memberinya makna pada pelembagaan atau organisasi kolektivitas manusia berdasarkan tujuan yang sama dan dibangun untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Makna “nagara” atau negara seperti ini tidak akan berarti banyak dalam situs ini, juga untuk pemahaman kehidupan dalam budaya Sunda.
Kata “Na ga ra” harus dibaca dari belakang “Ra ga na”. Kata tersebut dilengkapi dengan kata bantu “dina” supaya lebih mengangkat makna terdalam dari nama situs tersebut. Lengkapnya menjadi “Dina Ragana”. Jelaslah apa yang dimaksud: “di dalam raga” atau badan. Teka teki terjawab: jiwa, atau yang memberi gerak dan langkah pada raga. Jiwa menjadi isi bagi badan atau wadah. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan tidak berkedudukan secara hirarkis. Jiwa memancarkan kemampuannya melalui tubuh. Jiwa menggantungkan diri secara simbiotik saling menghidupi dengan badan. Badan dalam pemahaman demikian tidak berarti penjara bagi jiwa. Badan menyalurkan kemampuan jiwa. Badan mencerminkan kualitas jiwa yang dikandungnya. Badan memiliki kedudukan penting karena wadah ialah cermin bagi isi. Keduanya “menjadi kesatuan yang saling melengkapi dengan kekhasan, yakni kedudukan dan tugasnya masing-masing.
Kesatuan ini tampil diungkapkan dengan metafor “Diri”. “Diri” merupakankesatuan jiwa-badan. Tanpa kesatuan dalam “diri” hidup manusia tidak berarti. Metafor “Diri” pun merupakan permainan suku kata dari “Da” dan “Ra”. “Da” bermakna semesta dan “Ra” mengarah pada cahaya. Permainan suku kata atau aksara Sunda ini menempatkan “Diri” sebagai “Cahaya Semesta”. Makna permainan kata berdasarkan aksara ini menempatkan “diri” di tengah-tengah. “Posisi tengah” digambarkan dengan metafor puitik “Buana Pancer Tengah”. “Tengah” memang sangat mudah diartikan “pusat”. Secara diagramatik, tengah selalu mengacu pada pusat. Posisi “Tengah” dalam konteks buana pancer tengah atau diri sebagai cahaya semesta merujuk pada makna “di antara”. Posisi ini berfungsi menjaga keterjalinan (bukan keseimbangan) antarunsur yang berada di sekitarnya. Unsur-unsur itu tidak merujuk dan bergantung pada posisi tengah. Rujukan dan ketergantungan unsur pada posisi tengah hanya akan menunjukkan diri sebagai pusat semesta.
Dalam pemahaman ini, diri adalah cahaya semesta, yang menerangi atau gerak ke luar. Ia bukan pusat yang bersifat menarik atau gerak ke dalam (sentripetal). Diri manusia hanyalah bagian dari percikan Cahaya Ilahi. Ia hanya dititipi cahaya sebagai kekuasaan untuk menata dan memelihara semesta. Metafor “buana pancer tengah”, sekaligus Diri berarti “buana” atau jagat kecil, yang dibandingkan dengan pemangku sejati kekuasaan atas semesta, Jagat Besar. Tugas menata dan mengelola semesta beserta isinya bisa terungkap dengan permainan kata “dari belakang ke depan”. Metafor “buana pancer tengah” bisa dibaca sebagai “tengah pancer buana”. Diri mejadi “tengah” yang menerangi (pancer) jagat (buana).
Inilah makna spiritual dari “Diri”. Diri merupakan topologi holistik yang merangkum unsur badan dan jiwa, yang menghubungkan semesta dengan Yang Kuasa. Karena itulah, “Diri” menjadi pokok berpikir yang selalu berulang. Demikian pentingnya, “Diri” menjadi ukuran dalam pembelajaran dan penilaian. Ukuran pembelajaran dilakukan dengan “membaca alam” dan mengekspresikan hasil pembelajaran (membaca alam) dengan perilaku sehari-hari. Dalam konteks inilah “Batu” pada situs Nagara Padang dimengerti sebagai sarana pembelajaran. Permainan aksara “Baca” dari “ba” dan Tulis dari “tu” menunjukkan kesinambungan antara ekspresi pikiran dan rasa melalui tubuh.
Kesinambungan penalaran, emosi dan motivasi ini mendorong orang untuk memperlakukan apa saja yang “dibacanya” dari semesta. Ukuran penilaian perilaku dikembalikan pada “Diri”. Karenanya dikenal istilah “ngaji diri” agar penilaian perilaku tidak dilakukan tanpa dasar. Istilah “ngaji diri” mengukur perilaku diri ke dalam dahulu, sebelum menilai orang lain, atau menilai ke luar. Apalagi penilaian tentang baik dan buruk, diri harus menjadi asal refleksi sebelum melontarkan keputusan mengenai perilaku dan kehidupan sesama.
Tuntutan “ngaji diri” ini membuat seorang Sunda yang kerap berefleksi bersikap diam menghadapi berbagai sikap dan perilaku yang cenderung destruktif; atau ditanggapi dengan senyum. Sikap “diam” bukan berarti tidak tanggap. Sikap diam juga menunjukkan bahwa kepekaan membaca situasi atau konteks. Konteks akan membantu seseorang menentukan dan menilai sesuatu benar atau salah, baik atau buruk. Awalan “ngaji diri” bermuara pada sikap jembar atau padang. Sikap padang mengarah pada kemampuan memadukan berbagai macam unsur yang mengondisikan sebuah peristiwa terjadi. Pemaduan ini memerlukan wawasan: mencermati secara luas dan detil keragaman pembentuk sebuah peristiwa. Karena itu kemampuan “ngaji diri” untuk menilai peristiwa atau perilaku berkaitan dengan pengalaman mengolah diri dan menata diri, membiasakan diri menjadi terang. Karena itu, kembali ke “Diri” justru bukan tanda relativisme berlaku dalam khazanah Sunda. Kembali ke “diri” sebagai terang batin justru menghubungkan manusia, per pribadi dengan lingkungan di sekitarnya.
  • http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1610869330231&set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=3&theater#!/photo.php?fbid=1611314181352&set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=3&theater
  • https://sasananuswantara.wordpress.com/2011/03/08/falsafah-diri-dan-kemanusiaan-di-nagara-padang/
  • http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1610869330231&set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=3&theater#!/media/set/?set=a.1611192698315.67817.1791200877&type=1
BATU TAPAK KUJANG.
BATU TAPAK MAUNG