Asal Mula Gunung Merapi
Kabupaten Sleman - Yogyakarta - Indonesia
Rating : 2.6 (151 pemilih)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Gunung Merapi terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang,
Boyolali, dan Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah
yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh
karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan
bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan
ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang
semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung
berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung
berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam
cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!
* * *
Alkisah,
Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon,
pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena
itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak
miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk
mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau
Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung
Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang
terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.
Sementara
itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua
orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan
Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para
dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera
pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan
ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera
mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal
dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.
Setiba
di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu
tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan
bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa
Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat
keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa
menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha
mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras.
Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara
itu terlihat percikan cahaya yang memancar.
“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.
Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.
“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.
“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.
“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”
Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.
“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.
“Tapi
Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera
pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,”
kata Dewa Penyarikan.
“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.
Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.
“Maaf, Pukulun!
Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat,
sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat
ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar
yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu
Pamadi.
Melihat
keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan
mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru,
mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari
tempat itu.
“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.
Kedua
empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga
sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah
pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah
perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar
meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian
yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak
ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh
dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil
memenangkan pertarungan itu.
Batara
Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera
terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.
“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.
Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.
“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.
“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.
Dengan
kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang
bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga
melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua
empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih
oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua
empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu,
perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh
karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa
mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi
dari Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini,
kawah Gunung Merapi tersebut masih aktif dan sering mengeluarkan lahar
disertai dengan hembusan awan panas. Sejak tahun 1548, gunung berapi ini
sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali. Hingga cerita ini ditulis
(27/10/2010), Gunung Merapi kembali meletus dan mengakibatkan ribuan
warga mengungsi, ratusan rumah hancur, serta puluhan orang meninggal
dunia, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Adapun
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah bahwa orang yang
tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya Empu
Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa,
akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa. (Samsuni/sas/209/10-10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar