Di
ambil dari Candi Indonesia
Situs
Gunung Padang di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti
Kecamatan Campaka, Cianjur, merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak
yang terbesar di Asia Tenggara. Ini mengingat luas bangunan purbakalanya
sekitar 900 m2 dengan luas areal situs sendiri kurang lebih sekitar 3 ha.
Keberadaan
situs ini peratama kali muncul dalam laporan Rapporten van de oudheid-kundigen
Dienst (ROD), tahun 1914, selanjutnya dilaporkan NJ Krom tahun 1949. pada tahun
1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian bend cagar budaya yaitu
penilik kebudayaan setempat disusul oleh ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas
melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap
situs Gunung Padang mulai dilakukan baik dari sudut arkeologis, historis,
geologis dan lainnya.
Bentuk
bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar
dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa
Barat. Situs Gunung Padang yang terletak 50 kilometer dari Cianjur konon
merupakan situs megalitik paling besar di Asia Tenggara. Di kalangan masyarakat
setempat, situs tersebut dipercaya sebagai bukti upaya Prabu Siliwangi
membangun istana dalam semalam.
Dibantu
oleh pasukannya, ia berusaha mengumpulkan balok-balok batu yang hanya terdapat
di daerah itu. Namun, malam rupanya lebih cepat berlalu. Di ufuk timur semburat
fajar telah menggagalkan usaha kerasnya, maka derah itu kemudian ia tinggalkan.
Batu-batunya ia biarkan berserakan di atas bukit yang kini dinamakan Gunung
Padang. Padang artinya terang.
Punden
berundak Gunung Padang, dibangun dengan batuan vulkanik masif yang berbentuk
persegi panjang.
Bangunannya
terdiri dari lima teras dengan ukuran berbeda-beda. Batu-batu itu sama sekali
belum mengalami sentuhan tangan manusia dalam arti, belum dikerjakan atau
dibentuk oleh tangan manusia.
Balok-balok
batu yang jumlahya sangat banyak itu tersebar hampir menutupi bagian puncak
Gunung Padang. Penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di
teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja
Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang
Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh
Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.
Dugaan
Piramida di Gunung Padang Mendekati Kenyataan
Setelah
melakukan pengeboran secara diam-diam, Tim Katastropik Purba menemukan atap,
lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter terkubur di Gunung Padang,
Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar yang dihasilkan dari
pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara ini benar. Koordinator
Tim Katastropik Purba sekaligus Staf Presiden Andi Arief mengatakan itu dalam
International Conference on Indonesian Studies yang diselenggarakan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Inna Grand Bali Beach, Sanur.
Menurut
dia, susunan yang ditemukan diduga kuat atap piramida persis seperti hasil
geolistrik. Saat ini, temuan tersebut akan dilanjutkan dengan tahap eskavasi.
Untuk itu, ia meminta agar pihak-pihak lain untuk menahan diri tidak
mengomentari hasil temuan sementara itu sebelum seluruhnya rampung. “Kita
mengimbau para ahli yang tidak melakukan riset, untuk bersabar. Terbukti di Gunung
Padang itu sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan ternyata ada,” ujarnya.
Dugaan
adanya piramida di Gunung Padang juga berlaku untuk Gunung Sadahurip. Sebab,
gambar hasil pemetaan geolistrik di Sadahurip juga hampir sama dengan gambar
geolistrik di Gunung Padang. Oleh karena itu, ia tidak akan berhenti menelusuri
keberadaan bukti-bukti arkeologi di kedua titik tersebut. Rencananya,
pengeboran Sadahurip akan dilakukan mulai Maret mendatang. “Dari hasil
geolistrik antara Gunung Padang dengan Sadahurip itu tidak begitu beda.
Pembuktiannya nanti melalui pengeboran. Yang jelas, Gunung Padang hasilnya sama
antara pengeboran dan geolistrik,” ucapnya.
Andi
mengaku bahwa upaya riset dan penelitian itu telah mendapat restu dari Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, upaya penelitian terkait itu akan
terus dilakukan. Pekerjaan besar ini adalah yang pertama kali dilakukan di
dunia karena terencana. Sejak masa kolonial berakhir, kata dia, penemuan
arkeologi hanya berdasarkan faktor kebetulan semata. Misalnya karena kebetulan
ditemukan oleh petani yang sedang mencangkul. kalau pada tahun 1800 saja
ditemukan banyak bukti sejarah, kita kok sekarang sedikit sekali, lebih banyak
karena cangkulan petani.
Terkait
rencana pengeboran Sadahurip dan Gunung Padang, Pakar Genetika sekaligus
penulis buku Eden in The East, Profesor Stephen Oppenheimer enggan berkomentar
banyak karena dirinya tidak meneliti hal itu. Pada kesempatan itu, Oppenheimer
hadir menyampaikan pidatonya terkait hasil temuannya tentang teori banjir besar
yang menenggelamkan Sundaland (Benua Sunda) yang merupakan wilayah Asia
Tenggara kini.
Dalam
bukunya berjudul Eden in The East, Oppenheimer mengatakan bahwa peradaban Benua
Sunda adalah awal mula dari peradaban maju yang ada di dunia. Hal itu ditandai
dengan adanya penemuan sistem agrikultur dan peternakan yang telah maju sejak
16.000 tahun yang lalu.
Yang
dimaksud dengan Sundaland oleh Oppenheimer yaitu melingkupi Indonesia kecuali
Sulawesi dan Papua yang berbeda lempeng bumi, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, dan negara Asia Tenggara lainnya saat ini. Wilayah Asia Tenggara
semula berada di satu daratan, namun terpisah setelah didera banjir besar
berupa kenaikan muka air laut akibat es di kutub utara yang mencair.
Banjir
besar itu terjadi tiga kali, yaitu yang pertama terjadi pada 14.500 tahun yang
lalu yang menenggelamkan sebagian wilayah Jawa sehingga membentuk Pulau Jawa
terpisah dari Kalimantan dan Sumatera yang terpisah oleh Laut Jawa dan Selat
Sunda. Selain itu, banjir besar periode pertama itu juga menenggelamkan
sebagian utara Kalimantan dan Sumatera sehingga membentuk Pulau Sumatera
terpisah dengan Malaysia dan Kalimantan serta terbentuknya Laut China Selatan.
Banjir kedua terjadi pada 11.500 tahun lalu dan banjir ketiga terjadi pada
8.400 dan 7.250 tahun lalu. “Ketiga banjir besar itu
Andi
meminta agar tidak mengkait-kaitkan penelitian Tim Katastropik Purba dengan
teori Oppenheimer tersebut. Menurut dia, justru penelitian itu dilakukan untuk
menambah bukti-bukti baru yang mendukung teori Oppenheimer.
Selain
Oppenheimer, konferensi itu juga dihadiri 150 peneliti budaya dari berbagai
negara, di antaranya Vietnam, Kenya, Tunisia, Azerbaijan, Denmark, Jerman,
Turki, Ukraina, Perancis, dan lainnya. Konferensi akan berlangsung hingga Jumat
(10/2) malam dan dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa
Soemantri didampingi oleh Dekan FIB UI Dr. Bambang Wibawarta.
Situs
Gunung Padang
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan
tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Situs
Gunung Padang
Situs
Gunungpadang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di
Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan,
Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks “bangunan”
kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini
sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.
Penemuan
Laporan
pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de
Oudheidkundige Dienst (ROD, “Buletin Dinas Kepurbakalaan”) tahun 1914.
Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949.
Setelah sempat “terlupakan”, pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi,
Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka,
mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran
yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede[1].
Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan
Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan.
Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan
Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Lokasi
situs berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi
permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk
persegi. Situs itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam[1]. Tempat
ini sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat.[2] Penduduk
menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun
istana dalam semalam.
Fungsi
situs Gunungpadang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang
bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M.[2] Hasil penelitian Rolan Mauludy
dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari
beberapa batu megalit yang ada[3]. Selain Gunungpadang, terdapat beberapa tapak
lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.
Naskah
Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat “kabuyutan” (tempat
leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang
diketahui berhulu di sekitar tempat ini[4]. Menurut legenda, Situs Gunungpadang
merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari
masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok
penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Teka-teki
Musik di Balik Gunung Padang
Nurvita
Indarini – detikNews
Rabu,
08/02/2012 03:18 WIB
Jakarta
– Situs purba ditemukan di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Ada banyak
cerita dan teka-teki terkait pola peradaban dan budaya masyarakat yang
tersimpan di sana. Salah satunya teka-teki tentang musik.
Peneliti
dari Bandung Fe Institute menemukan di sudut belakang bagian timur undak
pertama situs Gunung Padang ada sejumlah batu yang tersusun sedemikian rupa.
Dengan memukulnya akan terdengar suara nyaring berfrekuensi tinggi bagaikan
nada-nada.
“Bebatuan
tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan
berbagai artefak litofonik warisan megalitik yang juga ditemukan di banyak negara
di kawasan Asia Tenggara, ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya,”
ujar peneliti Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir.
Hal
itu disampaikan dia dalam diskusi bertajuk ‘Menguak tabir peradaban dan bencana
katastropik purba di nusantara untuk memperkuat karakter dan ketahanan
nasional’ di Gedung Krida Bakti, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (7/2/2012).
Dengan
menggunakan analisis fast fourier transform, Hokky dkk memetakan nada-nada yang
dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan pengerucutan
pada empat nada yakni ‘f’-'g’-'d’-'a’. Menurut dia, mayoritas batuan yang
disampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai
‘nada’ tertentu.
“Namun
ada dua kelompok batuan yang menghasilkan nada dengan frekuensi relatif tinggi,
dalam interval 2683Hz-5171Hz. Dua kelompok batuan ini terdapat di teras pertama
dan teras kedua,” terangnya.
Tangga
nada dalam pengelompokan batuan itu lazim digunakan dalam musikologi modern.
Disampaikan Hokky, fakta ini menunjukkan bahwa sangat mungkin tradisi megalitik
di situs Gunung Padang telah mengenal instrumen musik.
“Dari
sisi urutan nada-nada yang diperoleh memang belum sempurna untuk dapat
dikategorikan sebagai pentatonic scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan
nada-nada yang hilang tersebut kemungkinan ada di batuan yang sebagian
terpendam tanah di sekitar batuan yang menghasilkan frekuensi tinggi tersebut,”
tuturnya.
Soal
musik ini masih menjadi teka-teki, apakah batu yang jadi sumber bunyi itu merupakan
artefak litofon yang telah ditemukan di banyak tradisi megalitik lainnya. Jika
memang batuan ini dijadikan alat musik. Maka peradaban yang memangunnya telah
mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok.
“Mengapa
di situs tersebut perlu ada sumber bunyi?” ucap Hokky mempertanyakan.
Apalagi
kawasan situs ini memiliki ketinggian 983-989 dia atas permukaan laut atau
relatif jauh lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Hokky dkk menduga, bukan
tidak mungkin bunyi-bunyian dari batu itu dijadikan sebagai pemberi aba-aba
atau informasi di kawasan bawah situs dengan tipe punden berundak itu.
“Pertanyaan
lebih lanjut, siapakah yang membangun situs megalitikum itu. Dan adakah manusia
yang hidup di belahan barat Pulau Jawa kini memiliki keterkaitan dengan
pembangunan situs megalitikum itu,” Hokky mempertanyakan.
(nvt/did)
Situs
Gunung Padang Lebih Tua dari Piramida Giza
JAKARTA,
KOMPAS.com — Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba menduga kuat adanya
bangunan piramida di situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur dan Gunung
Sadahurip di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dugaan itu mengundang kontroversi
para ahli arkeologi dan geologi yang selama ini meneliti situs-situs geologi
dan peninggalan arkeologi.
Menurut
salah satu anggota Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba, Danny Hilman, mereka
mengebor hingga sedalam 20 meter di Gunung Padang, tak jauh dari situs
megalitikum, dan menemukan tiga rongga di badan gunung. Satu dari ketiga
ruangan itu berukuran 10 meter x 20 meter. Posisi ketiga ruangan bertingkat.
Hasil
penelitian itu dipaparkan di Kantor Sekretariat Kabinet, Selasa (7/2/2012).
”Selama ini para ahli arkeologi hanya meneliti situs megalitikum di lapisan
atas. Belum banyak meneliti ke bagian lebih dalam,” kata Danny.
Menurut
dia, para peneliti terdahulu menganggap temuan di Gunung Padang hanya situs
megalitikum biasa. Hasil pengeboran tim menemukan lapisan dasar fondasi
bangunan berumur 4700 SM. Lebih tua dari piramida Giza di Mesir yang berusia
3500 SM.
Andang
Bachtiar, yang juga anggota Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba, mengatakan,
pengeboran menemukan lapisan pasir. ”Kami mencari apakah lapisan itu bagian
teknologi antigempa,” tuturnya.
Belum
lagi ada klarifikasi tentang keberadaan piramida, tim juga menduga ada piramida
di Gunung Sadahurip. Tim juga mengamati bentuk fisik kedua gunung itu mirip
piramida.
Penemuan
di situs Sadahurip dan Padang diklaim sebagian temuan Tim Bencana Katastropik
Purba yang dibentuk Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana
Alam, Andi Arief. Tim beranggota sembilan orang dari berbagai disiplin ilmu,
seperti geologi, geofisika, paleotsunami (ilmu tsunami purba),
paleosedimentasi, geodinamika, arkeolog, filolog (ahli naskah kuno), dan
antropolog.
Tim
ini juga meneliti beberapa situs di tempat lain. Tujuannya untuk memahami apa
ada kejadian alam hebat sehingga menghancurkan peradaban manusia waktu itu.
Penelitian akan dilanjutkan 2,5 tahun ke depan melalui pendekatan riset,
survei, manuskrip kuno, dan lain-lain.
Bantahan
Beberapa
geolog dan arkeolog menampik adanya bangunan piramida di kedua gunung itu.
Sutikno Bronto, geolog yang mendalami gunung api purba, mengatakan, kedua
gunung itu ”hanya” gunung api purba. Bukan gundukan tanah berisi piramida.
Ciri-ciri
lokasi gunung purba, lanjut Sutikno, adalah batuan penyusunnya merupakan hasil
aktivitas gunung berapi setempat. Usia gunung api purba Padang lebih dari 2
juta tahun, sedangkan Sadahurip ribuan tahun.
Geolog
dari BP Migas, Awang Harun Satyana, mengatakan, Indonesia mengenal bentuk
piramida, yakni punden berundak. Untuk membuktikan ada tidaknya piramida di
Sadahurip dan Padang, diperlukan penelitian secara menyeluruh. (IND/CHE)
Batuan
Andesit di Gunung Padang Disusun Manusia Purba
Nasional
/ Kamis, 9 Februari 2012 17:56 WIB
Metrotvnews.com,
Cianjur: Selama dua pekan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung
melakukan pengeboran di situs megalitikum Gunung Padang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat. Pengeboran untuk mencari tahu jenis dan usia batuan yang terdapat
di gunung tersebut. Diperkirakan ada bangunan dibawah situs megalitikum Gunung
Padang Panjang.
Pengeboran
difokuskan pada kemungkinan adanya colum narjoin basalt atau retakan lava yang
berasal dari gunung api. Namun setelah mengebor hingga kedalaman 26 meter,
peneliti LIPI tidak menemukan jejak retakan lava.
Ini
berarti puluhan ribu batu andesit yang tersebar di situs megalitikum terbesar
se-Asia Tenggara ini, bukan berasal dari gunung api dibawah tanah. Kesimpulan
sementara peneliti batu-batu tersebut dibawa manusia purba dari daerah lain,
lalu disusun di daerah Gunung Padang sebagai tempat pemujaan.
Kesimpulan
sementara diperoleh setelah tim menemukan tanah, kerikil, batu, dan semen purba
yang terstruktur rapih. Sementara di titik pengeboran kedua mereka menemukan
ruang kosong. Dari hasil pengeboran ini diperkirakan masih ada bangunan situs
yang terkubur.(DNI)
Gunung
Padang, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia
Balok-balok
batu berserakan di mana-mana, berpusat di gunung yang berusia sangat tua
sekali. Tidak hanya di sana tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah
penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah
bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m
dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Situs
Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan
luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha.
Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang
berbeda-beda, unik sekaligus melayangkan dalam benak Anda, sisa apa ini
sebenarnya?
Tepat
di puncak guungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam
5 teras. Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 SM (Sebelum Masehi). Situs
megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti
bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur.
Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs
megalitik Situs Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama
Piramida di Mesir.
Kata
“padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada juga
pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung),
dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata
‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.
itus
Gunung Padang merupakan peninggalan zaman batu besar yang tak ternilai
harganya. Bentuknya berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata sekitar 1 meter
dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis andesit, basaltik, dan basal.
Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian rupanya
teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan memberikan
identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala. Hal ini
membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno
dengan angka 7. Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda
pentatonis, yaitu: da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks
peribadatan purba, banyak juga menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater
musikal purba.
Batu-batu
andesit Situs Gunung Padang tersebut hanya dapat ditemui di sekitar Gunung
Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi
batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit
itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan
dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar
berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung
Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.
Sketsa Situs Megalitik Gunung Padang
berdasarkan tinjauan arsitektur
(Pon
S Purajatnika)
Situs
Gunung Padang pertama kali tahun 1914 yang termuat dalam Rapporten van de
Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia
Belanda. Seorang sejarawan Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat
menguraikannya tetapi belum banyak keterangan lebih lanjut mengenai informasi
keberadaannya.
Kajian
arkeologi, sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979.
Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu
menyulitkan penentuan umur situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak
megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson
(500 SM).
Para
arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah kuburan
seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan
masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan posisi
memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik.
Situs
Gunung Padang secara astronomis ternyata berharmoni dalam naungan
bintang-bintang di langit. Analisis dengan planetarium yang dilacak hingga ke
tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs Gunung Padang pada masa prasejarah
menunjukan berada tepat di bawah langit yang lintasannya padat bintang berupa
jalur Galaksi Bima Sakti.
Sementara
itu, bagi masyarakat setempat, mereka meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini
berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang ingin
membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan
balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya
tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan vulkanik
masif yang berbentuk persegi panjang itu dibiarkan berserakan di atas bukit.
Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang
sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh
tangan manusia. Bebatuan ini jumlahya sangat banyak dan tersebar hampir
menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk menamakan 5 teras di gunung ini
dengan nama-nama bernuansa Islam, yaitu: Meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi
Eyang Bonang, Jojodog (tempat duduk) Eyang Swasana, Sandaran Batu Syeh Suhaedin
(Syeh Abdul Rusman), Tangga Eyang Syeh Marzuki, dan Batu Syeh Abdul Fukor.
Situs
Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua
ketua adat masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh
penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan yang telah berlangsung sejak
2.000 lalu.
Berkaitan
umur Situs Gunung Padang, ada yang berpendapat dibangun pada masa Prabu
Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad ke-15 karena ditemukan guratan
senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Akan tetapi,
arkeolog berpendapat lain, situs ini umurnya jauh lebih tua 2500-400 SM. Hal tu
berdasarkan bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang
bangsawan dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat
yaitu Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu
Sungai Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang. Bujangga Manik juga
menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.
Foto-foto
perjalanan ke Gunung Padang
You might also like:
This entry was posted in Sejarah Situs Megalith Gunung Padang Cianjur Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar