Pandangan mata awas memandang laut, menunggu saat gelombang menjauh. Hanya ada kesempatan beberapa detik, ditambah keberuntungan, agar tubuh tidak diterjang ombak yang terkadang tinggi hingga mencapai dinding tebing.
Kami harus berhitung sebelum
menyeberang dengan merayapi tebing licin itu. Sekali dua kali
keberuntungan menyertai. Namun, saat berada di satu cerukan, ombak besar
tiba-tiba datang menerjang. Kami hanya bisa merapat ke dinding,
memunggungi laut, dan menanti gelombang yang segera datang itu,
sementara tangan erat berpegangan pada karang. Ombak yang datang seperti
palu yang dihantamkan. Tubuh basah dan lelah.
Belum lepas dari
lelah, tebing terjal tiba-tiba menghadang. Sebatang kayu berselimut
lumut jadi satu-satunya jembatan dan di bawah, debur ombak mencipta
jeri. Namun, tak ada pilihan lain selain terus melangkah.
Perjalanan
mendebarkan itu kami lalui untuk mencari jejak kehidupan di kompleks
Krakatau sebelum gunung ini meletus pada 27 Agustus 1883. Seperti
dikisahkan ahli botani Inggris, Joseph Banks, yang mengunjungi Krakatau
pada Januari 1771, pulau itu dulu diselimuti hutan lebat. "Kami membuang
sauh di bawah pulau tinggi yang di kalangan pelaut disebut Cracatoa dan
oleh orang India Pulo Racatta. Kami melihat banyak rumah dan pepohonan
lebat."
Banks ke pulau itu bersama armada Inggris yang dipimpin
Kapten James Cook dengan kapalnya, Resolution dan Discovery. Mereka
dalam perjalanan mencari terra australis incognita (dunia selatan yang
misterius). Seniman armada itu, John Webber, melukiskan Krakatau sebagai
pulau yang dipenuhi pohon kelapa, rerumputan tinggi, pakis, dan hutan
lebat dengan latar belakang gunung raksasa dengan dua puncak.
Jejak arang
Perjalanan
kami mulai sejak pukul 07.30, 17 Agustus 2011. Awalnya kami pergi ke
Pulau Sertung, sekitar 4 kilometer dari Pulau Rakata. Selain Rakata dan
Anak Krakatau, Sertung dan Panjang merupakan bagian dari kompleks
kepulauan Krakatau yang berada di dalam kaldera purba. Anak Krakatau
berada di titik pusat.
Di tepi pantai Sertung yang sunyi, pagi
itu, Tukirin Partomihardjo (59), ahli botani Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, mengajak kami sejenak berdiri dan mengibarkan bendera Merah
Putih. Profesor yang telah 30 tahun meneliti di Krakatau ini memimpin
upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Ia mengingatkan
pentingnya memelihara Krakatau sebagai laboratorium alam dunia yang
tidak ternilai.
Seusai upacara, kami mulai menyusuri hutan Sertung
yang dipadati pohon melinjo. Sesekali bunyi riuh burung mencipta gaduh
di hutan sepi. "Tanah di sini total tertutup abu sehingga cocok buat
tanaman berbiji kecil, seperti melinjo," ujar Tukirin.
Pukul
10.00, kami menyeberangi kaldera Krakatau dan mendarat di Legon Cabai,
sisi timur Rakata. Hutan lebat menyelimuti pulau itu. Dedaunan yang
luruh membentuk lapisan tebal. Suara burung riuh terdengar. Variasi
pohon dan hutan di sini lebih rapat dibandingkan Sertung. ”Hutan di
Rakata lebih stabil dibandingkan di Sertung yang banyak terganggu
letusan Anak Krakatau,” kata Tukirin.
Setelah dua jam mendaki
tanah berpasir, kami tiba di ketinggian 212 meter dari permukaan laut.
Di tebing tinggi itu, kami menemukan sisa batang-batang kayu yang telah
jadi seperti arang. Kayu itu tercetak di lapisan lava yang membeku, lalu
tertimbun lapisan abu dan batu apung dengan kedalaman hingga lebih dari
20 meter.
Tebalnya material vulkanik yang menimbun arang itu,
menurut Tukirin, membuktikan bahwa kehidupan tidak mungkin bertahan di
pulau ini setelah letusan 1883. Tukirin lalu mengajak kami melihat kayu
yang terarangkan di tepi pantai di sisi lain Pulau Rakata. "Tempatnya
lumayan jauh, sekitar lima jam jalan," katanya menawarkan. "Namun, itu
akan menjelaskan betapa seluruh pulau ini memang pernah tertimbun abu."
Kami
pun bergegas menuju titik yang ditunjukkan Tukirin. Selama satu dua jam
pertama, perjalanan cukup mengasyikkan. Kami masuk ke dalam teduhnya
hutan. Namun, perjalanan berikutnya cukup melelahkan karena kami harus
menyusuri pantai yang terik.
Sekitar pukul 16.00, kami akhirnya
tiba di tepi pantai yang diapit tebing dengan ketinggian lebih dari 50
meter. Tonggak-tonggak kayu, berwarna hitam legam menyerupai arang,
menyembul di tebing yang tersusun dari batu apung dan abu. Saat Krakatau
meletus pada 1883, jatuhan awan panas yang bersuhu lebih dari 500
derajat celsius telah menutup sempurna pulau ini. Pepohonan lebat yang
dilukis John Webber sebelum letusan bisa dipastikan musnah terpanggang.
Jejak arang itu menjadi bukti penting tentang penciptaan tabula rasa
atau area yang steril di kawasan ini setelah letusan.
"Jejak ini
membuktikan Krakatau steril setelah letusan. Tak mungkin ada yang
bertahan hidup ditimbun material panas setebal ini. Kehidupan binatang
dan juga tanaman yang kita temui saat ini di sini muncul dari nol,"
katanya.
Tak terasa senja mulai datang. Kami harus bergegas kembali ke tenda di sisi lain Rakata sebelum gelap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar